“Buku ini benar-benar asyik, pokoknya mantap!” Itu jawaban anakku ketika kutanya bagaimana pendapatnya tentang buku ini. Karena kebetulan dia sudah membaca duluan.

Berarti buku ini memang khusus untuk anak, pikirku ketika mulai membaca dan menemukan tokoh “aku” dalam buku adalah seorang anak kecil.
Tetapi ternyata aku keliru. Memang buku ini bercerita tentang masa kanak-kanak tapi sesungguhnya buku ini bukan hanya untuk bacaan anak. Buku ini juga recommended untuk dibaca orang tua. Karena isi buku ini bukan sekedar kisah indah kanak-kanak namun sarat dengan ilmu parenting. Bagaimana Bapak dan Mamak mendidik anak-anaknya, bagaimana mereka bersikap untuk kenakalan dan kemalasan. Bagaimana mereka mengajarkan ilmu kehidupan supaya anak-anak lebih menghargai kehidupan.
Mungkin aku terlalu berlebihan. Tetapi menurutku, sesungguhnya buku ini adalah gudang segala ilmu. Semua ilmu ada. Dipaparkan tanpa berkesan menggurui tapi mengasyikkan lewat kehidupan Pukat dan orang-orang di sekitarnya.
Ada ilmu tentang perkeretaapian, tentang Bahasa Indonesia, tentang cara membuat puisi, tentang penanggalan baik itu kalender Masehi, Cina, Jawa dan Arab. Ada juga tentang shio dan pantun
Buku ini juga sarat ilmu kehidupan. Tentang persahabatan, persaudaraan, kasih sayang dan kejujuran.
Bagiku sendiri, membaca buku ini seolah membangkitkan kenangan masa kecil. Di buku memang tidak disebutkan tahun kejadian tapi aku bisa mengira mungkin Pukat ini sebaya denganku atau adikku yang kelahiran tahun 1982. Hampir semua pengalaman mereka kami alami juga. Aku juga masih merasakan bagaimana televisi bisa dihitung jari di kampung kami. Bagaimana televisi bisa menyala dengan tenaga aki. Aku ingat betul, aku sama seperti Pukat yang selalu bersemangat mengisi ulang aki ke kota kecamatan. Aku juga merasakan era gorengan masih bisa dibeli dengan harga seratus Rupiah. Tapi aku masih sempat mengingat kalau gorengan seharga 25 Rupiah. Itu sebabnya aku mengatakan bisa jadi Pukat sebaya adikku.
Pukat bersaudara ada 4, si sulung Eliana, Pukat, Burlian dan si bungsu Amelia. Sama seperti kami kecuali formasi bungsu dan nomor 3. Membaca buku ini, aku merasa seperti Eliana dengan segala hak kesulungan. Hal ini juga membuatku penasaran, ingin membaca buku Eliana.
Aku pun sependapat dengan anakku, buku ini asyik. Kehidupan anak-anak kampung yang polos tapi bukan berarti ketinggalan ilmu pengetahuan. Apalagi ilmu tentang kehidupan, ilmu agama dan ilmu tentang adat istiadat. Karena mereka berada di lingkungan dengan orang-orang yang menjunjung tinggi segala nilai-nilai mulia tersebut.
Walaupun sarat dengan kebaikan, bukan berarti buku ini monoton. Tetapi tetap penuh warna khas kanak-kanak. Bagaimana anak seusia mereka sudah ada yang mulai mengalami cinta monyet. Bagaimana kanak-kanak bisa bermusuhan hanya karena hal yang awalnya sepele.
Tidak hanya kisah gembira, tapi buku ini juga berkisah tentang kehilangan. Bahkan sukses juga membuatku mengeluarkan air mata dan sukses juga terjebak di bab terakhir dan menjadi salah satu pembaca yang disebut pengarangnya terlalu, karena tidak cerdas mengambil kesimpulan.
Buku bagus, itu menurutku. Hanya masih terlalu tebal untuk anakku yang kelas 4 dan kelas 2. Itu yang mereka katakan ketika aku rekomendasikan buku ini ke mereka.
Sama seperti buku lain, pasti ada kutipan yang menarik. Berikut beberapa kutipan yang menurutku sayang kalau tidak dicatat.
- “Kalau kalian ingin jadi penulis yang baik, makanya caranya sederhana saja, mulailah ditulis, ditulis dan ditulis. Kalian tidak akan pernah menjadi penulis yang hebat dengan hanya tahu caranya menulis, tahu teori-teorinya, tapi kalian tidak pernah melakukannya. Itulah bedanya belajar ber-bahasa Indonesia yang baik dengan sekedar punya nilai sepuluh di raport. Kita mempraktekkan langsung keterampilan berbahasa.” (hal.48)
- “Kata Mamak kita tidak boleh taruhan. Itu haram, Kak.”(hal. 54)
- “… Kalau kau tidak suka dengan Pukat dalam hal-hal tertentu, bagaimana mungkin kau dengan mudah menyingkirkan kedekatan dan rasa suka di lebih banyak hal lainnya?” (hal. 86)
- “Tidak ada yang bisa menebak perangai orang lain hanya dari simbol-simbol. Perangai, tabiat, sifat atau apalahkau menyebut nama binatang ini, sejatinya adalah bawaan hidup, menempel ke kita karena proses yang panjang. Kau tahu, keluarga, teman dan lingkungan sekitar memberikan pengaruh besar dalam proses itu. Jika kau terbiasa memiliki keluarga, teman dan lingkungan sekitar yang baik, saling mendukung, maka kau akan tumbuh dengan sifat yang baik dan elok pula. Tidak jahat, tidak merusak. Siapa yang paling tahu kau memiliki sifat apa? Tentu saja kau sendiri.”(hal. 94)
- “Kitalah yang paling tahu siapa kita, sepanjang kita jujur terhadap diri kita sendiri. Sepanjang kita terbuka terhadap pendapat orang lain, mau mendengarkan masukan dan punya sedikit selera humor, menertawakan diri sendiri. Dengan itu semua kita bisa terus memperbaiki perangai. Apakah kau suka pamer? Bukan pemaaf yang baik dan pendendam seperti pemilik shio ayam? Jawabannya hanya kau yang tahu. Kau punya sepotong benda amat berguna di dalam dadamu untuk menjawabnya. Kau pasti tahulah benda apa itu.”(hal. 94)
- “Di keluarga kita, anak laki-laki tidak akan pernah membuat masalah jika dia tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalahnya itu dengan baik. Dia tidak akan pernah memulai pertengkaran jika dia tidak tahu bagaimana mengakhiri pertengkarannya. Hanya seorang pengecut yang memulai pertengkaran, tapi tidak pernah mau berdamai. Tidak punya cara untuk mengakhirinya baik-ba–” (hal.97)
- “Teladan agama kita melarang tidak bertegur sapa dengan saudara sendiri lebih dari 3 hari. Semakin lama kau mendendam, tidak mau saling memaafkan, maka hatimu semakin hitam, tidak mau mendengar nasehat, tidak terbuka lagi. Tiga hari batas maksimal agar hatimu tidak terlanjur tertutup. Dan kau ternyata, astaga, sudah dua bulan saling mengabaikan, membuat masalahnya berlarut-larut.” (hal. 98)
- “Kau tahu, makanan yang kita dapatkan dengan bekerja, apalagi itu kerja yang baik dan halal, maka rasanya akan terasa nikmat di lidah.”(hal. 146)
- “Bapak adalah guru, Pukat. Bertugas mendidik kalian bukan menghukum. Ada yang lebih penting dibandingkan sebuah hukuman. Apalagi hukuman tidak selalu menjamin perangai seseorang berubah…”(hal.154)
- “…, orang-orang yang bersungguh-sungguh jujur, menjaga kehormatannya, dan selalu berbuat baik kepada orang lain, maka meski hidupnya tetap sederhana, tetap terlihat biasa-biasa saja, maka dia sejatinya telah menggenggam seluruh kebahagiaan dunia …” (hal.164)
- …”Untuk urusan cinta dan perasaan, kecantikan bukanlah segalanya. Ada petuah bijak seperti ini; beratus kisah tentang putri jelita, tidak akan berhenti hingga kiamat nanti. Berjuta wanita hendak terlihat cantik, tidak akan pernah sadar hingga ketuaan datang tidak tertahankan…” (hal.178)
- “Kau tahu kenapa kebanyakan orang menganggap kecantikan seorang perempuan lebih penting dibandingkan perangai yang baik?” Wak Yati menatap Ayuk Eli lembut, “Karena di dunia ini, lelaki bodoh jumlahnya lebih banyak dibandingkan lelaki buta.” (hal 178)
- “Tidak ada orangtua yang berniat jahat ke anaknya sendiri, Burlian, Amel. Bahkan seekor macan buas sekalipun. Kalian saja yang belum mengerti alasannya. Bukankah Bapak pernah bilang kepada kau, Burlian, jangan pernah membenci Mamak, jangan sekali-kali … karena jika Kau tahu sedikit saja apa yang telah dia lakukan demi kau, Amelia, Kak Pukat dan Ayuk Eli, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.”(hal. 185)
- …, dalam banyak hal, sebuah pertanyaan yang tepat jauh lebih penting dibandingkan sebuah jawaban yang sempurna. Pertanyaan akan memicu penemuan hebat, pemikiran mahsyur bahkan sebuah permulaan yang agung. Tetapi jawaban, sebaliknya, terkadang dengan sebuah jawaban yang baik, secara tak sengaja kita menutup pintu untuk berkembang lebih jauh, menemukan lebih lanjut. Jawaban terkadang malah mengakhiri sebuah petualangan yang seru. Jagoannya berhenti, pulang, menghabiskan masa tuanya dengan santai.” (hal. 221)
- “Jual beli itu dihalalkan. Siapa yang menjual dengan baik, memberikan barang yang benar, tanpa menipu, senang hati melebihkan timbangan, memberi bonus, tambahan, niscaya dia mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat.” (hal. 237)
- “… hal ini juga berlaku sebaliknya. Barang siapa yang membeli dengan santun, ringan hati melebihkan bayaran, tidak selalu menawar, niscaya bukan hanya barang itu yang berhasil dia beli, dia juga sejatinya telah mendapatkan harga yang lebih murah–” (hal. 238)
- “Jangan mentang-mentang kalian beruntung setiap kali ke dapur, sudah tersedia makanan. Setiap kali hendak makan sudah ada nasi, kalian jadi meremehkan setiap butirnya. Di luar sana, banyak orang-orang yang harus bekerja keras untuk mendapatkan sepiring nasi. Banyak yang kurus-kering, bermimpi makan teratur dan cukup.” (hal. 276)
- “… Tetapi ingat, leluhur kita mengajarkan keseimbangan dan saling menghargai satu sama lain. Kita tidak mengambil berlebihan, merusak berlebihan. Hutan sekitar adalah bagian kehidupan. Kita membuka hutan dengan proses penuh penghargaan kepada alam yang telah memberikan sumber makanan …” (hal. 294)
Judul Buku : Pukat (Serial Anak-Anak Mamak)
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun Terbit : Cetakan XII, September 2016
Jumlah Halaman : 343 halaman
Gassmom, 140920

17 replies on “Pukat – Tere Liye (Review Buku)”
[…] menyelesaikan buku sebelumnya, Sachio pun melanjutkan membaca buku berjudul Pukat. Buku ini merupakan salah satu dari buku serial Anak-anak Mamak karya penulis terkenal Tere Liye. […]
SukaSuka
[…] aku mengira buku ini cerita anak karena kebetulan aku baru menuntaskan Pukat (serial Anak-anak Mamak). Tetapi ternyata sama sekali bukan. Walaupun setengah dari cerita adalah kisah masa kecil Dam sampai […]
SukaSuka
Wah ini si oke banget ka, kalo mau jadi penulis ya ditulis, ditulis, ditulis. Karena aku praktekin hal itu dan lama-lama ada kesenangan sendiri si dalam menulis walau masi tahap belajar. 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Yups, oke banget. Inilah tips yang dibutuhkan untuk bisa menulis.
Keren tuh kalo dirimu sudah praktekin …
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya baru baca Burlian, pengen juga nih baca Pukat juga..😃
SukaDisukai oleh 1 orang
Kalo aku sebaliknya, masih baca pukat saja. Pengen baca burlian, amelia dan Eliana juga 😃
SukaSuka
Hhmm… mantap moms, jadi penasaran juga 😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya, menurutku bagus tuh.. 😊
SukaSuka
Wah buku yang menarik Mbak Sondang hehe. Walaupun belum baca sih untuk seri berjudul Pukat ini, pun seri Eliana dan Amelia, yang baru kubaca yaitu seri Burlian.
Hal menarik dari buku ini adalah kepercayaan yang sengaja dilekatkan pada setiap anak sewaktu kecil. Kalau tidak salah Eliana si Pemberi, Pukat si Pintar, Burlian si istimewa, Amelia (nah kalo yang ini lupa).
Kamu istimewa burlian, memang anak paling istimewa!
Kamu memang anak pintar pukat, paling pintar!
Dari kecil kamu memang pemberani Eliana. Jaga adik-adik kau yak
Amelia (lupa wk)
Good Review
SukaDisukai oleh 1 orang
Yups, salut melihat kedua orang tuanya. Kalimat profetik yang sangat bagus.inginnya menerapkan begitu juga tapi terkadang keceplosan he he he
Aku juga masih baca ini saja, pengen baca semua serinya. Mudah2an berjodoh dgn bukunya alias ketemu yg second orinya 😁
SukaDisukai oleh 1 orang
Amin mbak hehe 😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah wah wah…..hobby berat membaca rupanya……hihihi.
Ah beli buku itu ah….kayaknya OK…….lengkap sudah reviewnya.😁😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Nggak hobby berat koq, biasa saja. Pengennya sih hobby jalan2 tapi fulus dan situasi tak berpihak kepadaku he he he
SukaSuka
Insyaallah Tuhan akan memudahkan semua harapan Ibu Sondang yang baik dan bersahaja😊😊😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Amin😊
SukaSuka
Saya senang Mbak Sondang membaca buku ini, lebih senang lagi anaknya juga baca 💝
Kalau sudah baca Pukat, tanggung mesti baca Burlian, Amelia, sama Eliana. Siap-siap saja Mbak bakal bikin ketawa, nangis, terharu dan sebagainya 😂
Review yg sangat menarik Mbak, dan jadi kangen Pukat 😂
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya mbak. Bukunya asyik. Betul, jadi penasaran juga pengen baca semua serialnya. Semoga berjodoh he he he
SukaSuka