
Reblog dari:
Maafkan Aku
Reblog dari:
Maafkan Aku
“Tolong supaya keluarga pasien menunggu di luar dulu. Agar kita memeriksa pasien dan memberi perawatan.” Dengan suara lembutnya Suster Pipin menyarankan kepada keluarga pasien yang lebih dari 10 orang itu keluar dari IGD.
“Baik Suster.” Seperti sudah diatur sebelumnya, mereka menyahut dengan kompak dan keluar dari ruang pemeriksaan.
Suster Pipin pun menutup pintu IGD dan kembali ke tempat tidur pasien yang sedang dia tangani sebelumnya.
Dokter Rani nampaknya sudah selesai melakukan pemeriksaan fisik kepada pasien tersebut.
“Suster Pipin, luka pada kaki sepertinya perlu dijahit. Jangan lupa dibersihkan terlebih dahulu. Selain itu tidak ada luka serius. Hanya nanti kita lakukan Thorax foto karena Bapak ini mengeluh dada terasa sakit. Mungkin ada benturan sewaktu jatuh tadi.” kata dokter Rani.
“Baik Dokter.” jawab Suster Pipin. Dengan cekatan, Suster Pipin pun mempersiapkan alat untuk hecting, kemudian menarik troli peralatan ke tempat tidur pasien.
Brakk!
Tiba-tiba terdengar pintu IGD dibuka dengan kasar. Seorang laki-laki separuh baya masuk dan berbicara kuat. “Mana pasien bernama Poltak tadi. Sudah ditangani dia? Siapa dokter jaga di sini?”
Suster Pipin yang sedang meminta informed Consent kepada pasien pun kaget dan bergegas menemui laki-laki separuh baya yang sudah masuk ke ruang IGD itu.
“Bapak, keluarga pasien tolong menunggu di luar dulu ya. “Dengan suara lembutnya Suster Pipin pun meminta Bapak tersebut keluar. Tetapi bukannya keluar, bapak tersebut malah menerobos masuk. Dengan pongahnya berkata, “Koq berani sekali kamu menyuruh aku keluar? Kamu tidak kenal siapa aku?”
“Maaf Pak, saya tidak kenal siapa Bapak. Tolong keluar dulu Pak.” jawab Suster Pipin dengan tegas.
“Eh, kamu ini. Kamu tidak kenal siapa aku? Aku ini Tigor, anggota dewan kota ini.”
“Maaf Pak, saya memang tidak kenal Bapak. Tolong tunggu di luar dulu Pak.” Dengan lembut tapi tegas Suster Pipin membuka pintu IGD dan membuat gerakan silahkan keluar dengan tangannya.
Entah karena tidak tahu menjawab lagi atau karena malu, si bapak tersebut pun keluar.
“Hmm, dasar ya. Baru anggota dewan saja sudah sombongnya minta ampun dan menganggap semua orang harus kenal sama dia.” kata seorang pasien yang tempat tidurnya kebetulan dekat dengan tempat Suster Pipin dan si anggota dewan tadi berbicara.
“He he he, iya Pak.” sahut Suster Pipin.
Suster Pipin pun kembali ke tempat tidur pasien yang dia tangani sebelumnya dan mulai melakukan tindakan.
***
note.
Pict. Pexels
Tulisan Tahun 2018 terkenang memori RS Horas Insani, tahun 2001. Sampai sekarang tetap ngakak so hard kalau ingat ketika Kak Pipin menceritakan kejadian itu.
–Gassmom-
Pematangsiantar, 15 Oktober 2018
Aku sudah jauh berlari. Aku menoleh lagi ke belakang, tak ada lagi sosok mengerikan yang mengejar tadi. Sepertinya sudah aman.
Tapi tetap tidak boleh lengah. Kesekian kali berhasil lolos dari mahluk itu, tidak memberi jaminan bahwa besok bisa selamat. Aku harus membuat strategi baru. Sepertinya juga harus pindah lokasi, tidak boleh terus menerus di daerah ini karena musuh sepertinya sudah memperhatikan gerak gerik dan kebiasaanku.
Pokoknya aku harus mencari tempat baru.
Huh … sepertinya aku sudah sangat jauh berlari dan sangat lelah. Tidak bisa tidak harus memutuskan ke mana melangkah, di mana harus istirahat. Aku sangat ingin merebahkan tubuh saat ini, ingin memejamkan mata walau hanya sekejap.
Aku benar-benar butuh istirahat dan juga lapar, perut benar-benar lapar.
Eits, tunggu dulu. Ada pintu terbuka di sana, sepertinya suasana juga
sunyi dan ada aroma makanan di sana, sangat menggoda. Aku benar-benar semakin lapar mencium aroma kesukaanku itu. Rasanya tak sanggup lagi menahan lapar ini, sebaiknya aku memang harus ke sana. Siapa tahu juga tempat itu bisa menjadi tempat bernaung untuk seterusnya. Tapi tetap harus hati-hati, aku harus mengendap-endap dulu karena siapa tahu mahluk mengerikan tadi ada di sana.
Oke, sepertinya suasana benar-benar aman. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya aroma makanan kesukaanku yang semakin jelas tercium di hidung dan membuat semakin lapar.
Ya … makanan.
Itu benar makanan, sungguh sangat beruntung diriku hari ini. Aku harus segera memakannya selagi situasi masih aman terkendali. Hmmm, tinggal satu langkah lagi dan pemandangan indah di depan mata ini akan berpindah ke perutku.
Tapi, apa ini?
Kenapa tiba-tiba aku tidak bisa bergerak?
Oh, kakiku tak bisa bergerak. Ada yang menahan tapi aku tidak tahu apa ini. Semakin aku mencoba semakin kaki tidak bisa digerakkan.
Ada apa ini?
Aku takut …
Tolong, tolonggg …
Adakah yang mendengar jeritanku?
Tolonggggggg …
***
“Papa, jebakan kita berhasil. Tikusnya sudah terjebak lengket di lem tikus yang Papa buat.”
“Baguslah kalau begitu. Mana kayu tadi? Biar dipukul saja kepalanya biar langsung mati. Nanti angkat saja sekalian papan alas lem itu buang ke tempat pembakaran sampah. Biar dibakar sekalian.”
“Oke, Pa.”
***
-Tamat-
-Gassmom-
Pematangsiantar, 05 Oktober 2018
Pict. Pints
“… Yang, kemarin ku melihatmu
Kau bersama dengannya …”
Alunan lagu yang terdengar dari radio itu mendadak menjadi memuakkan bagiku. Sepertinya lagu itu sepakat dengan langit sore yang mendung menambah kegalauan batinku.
“Syalom!
Ma, Mama itu harus lebih sering berkumpul dan bergabung dengan sesama ibu-ibu. Entah duduk-duduk dimana. Berbagi cerita dengan mereka. Tanya bagaimana mereka memperlakukan anaknya.”
Belum lagi disahuti dan masih membuka pintu tapi Sonia sudah nyerocos tanpa henti, berbicara kepada Mama. Mama yang lagi ngopi cantik di sore hari pun tak urung pasang wajah bengong.
“Ini anak baru pulang dari kolam renang koq bisa tiba-tiba begitu ya? Hmm, jangan-jangan… ” walau sekilas tapi muncul juga pikiran jelek di benak Mama.
“Maksudmu apa? Simpan dulu barang-barangmu itu. Baru kita cerita.” ujar Mama dengan logat Batak yang nampaknya tak bisa lagi dihilangkan.
” Iya.” ujar Sonia dan berlalu menyimpan tas dan baju berenang yang sudah basah.
“Jadi begini Ma, Mama itu harus lebih sering berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Supaya Mama tahu bagaimana mereka memperlakukan anaknya.”
“Maksudmu?”
“Iya. Tadi di angkot, ibu-ibu di sana bercerita bagaimana mereka memperlakukan anaknya. Kata mereka anak-anak itu tidak perlu disuruh bekerja. Kalau diberi pekerjaan rumah pun, cukup hanya satu jenis pekerjaan. Jangan ditambah lagi.”
“Hmm, jadi maksudmu?”
“Jadi Mama harus mendengar cerita mereka supaya mama jangan memberi tugas untuk kami. Pokoknya anak-anak tidak perlu ikut mengerjakan pekerjaan di rumah.” kata Sonia lagi.
“Jadi, maksudmu apa sekarang?” tanya Mama lagi.
” Jadi Sonia tidak perlu tahu mencuci piring, tidak perlu disuruh menyapu halaman. Tidak perlu ikut membantu mengurus adek. Pokoknya kami hanya sekolah dan mengerjakan PR.” sambungnya lagi.
“Oh, begitu?”
“Iya Ma. Bahkan ada ibu itu, dia pakai seragam yang sama seperti Mama. Ibu itu bilang anaknya sampai kuliah pun tidak pernah mengerjakan apa-apa. Semua dikerjakan oleh Mamanya.”
“Ooo …”
“Iya lho Ma. Makanya Mama kumpul-kumpul dulu dengan ibu -ibu di kompleks atau dimana. Supaya Mama percaya kalau anak mereka tidak pernah mengerjakan apa-apa.”
“Ooo …”
“Ooo, terus …Jadi apa keputusan Mama?”
“Keputusan Mama, kalian tetap mengerjakan semua tugas yang sudah Mama berikan. Kenapa? Karena Mama sayang kepada anak-anak Mama. Kalau Mama tidak sayang kepada kalian, bisa saja Mama biarkan kalian tidak mengerjakan apa-apa, tidak tahu apa-apa. Tapi siapa yang rugi? Kalian yang rugi. Nanti sudah besar tidak tahu mengerjakan apa-apa. Kalau kita orang kaya kian, okelah … karena orang kaya bisa menggaji banyak pembantu. Tapi kita bukan siapa-siapa jadi harus tahu diri. Jadi, karena Mama sayang kepada kalian maka tetap harus mengerjakan tugas masing-masing. Biar sudah besar nanti tidak susah. Siapa tahu nanti kost atau tinggal di rumah siapapun, paling tidak kalian tahu mengerjakan pekerjaan rumah.”
“Oh, Mama ini lho. Sudah diberi keterangan tetapi tetap juga. Sonia tidak setuju karena menurut ibu-ibu tadi, anak-anak harus fokus kepada pelajaran sekolah. Jadi jangan lagi ditambah dengan pekerjaan di rumah.” jawab Sonia.
“Hmm, Mama tanya dulu. Kamu anak siapa? Anak Mama kan? Berarti dengarkan peraturan Mama. Kalau tidak setuju, kamu boleh naik banding dan tanya keputusan boss besar. Entah apa nanti jawabannya.” ujar Mama lagi.
Tanpa menunggu lama, Sonia pun bergegas menemui Papa dan menceritakan semua uneg-uneg yang sebelumnya sudah dia ceritakan kepada Mama namun ternyata tidak berhasil.
Mama tetap tidak beranjak dari tempat duduk semula tetapi membuka telinga lebar-lebar mendengarkan debat antara Sonia dan Papa.
Papa mengatakan bahwa setiap rumah mempunyai peraturan yang berbeda. Dan peraturan di rumah mereka adalah setiap anak wajib mengerjakan tugas yang sudah diberikan dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
Sonia pun balik kanan dengan lesu dan tidak berani berdebat lagi karena keputusan sudah final. Mama yang mendengar semua pembicaraan mereka pun melanjutkan ritual ngopi cantik di sore hari sambil tersenyum ala ibu tiri yang setengah kejam.
-Gassmom-
Pematangsiantar, 010519
Pict. Pinterest
Azan magrib sudah berkumandang dari mesjid ketika Sean tiba di rumah Bou.
Karena kakaknya yang telah lebih dahulu tiba ternyata sedang asyik nonton maka Sean pun mencari kesibukan sendiri.
Seperti biasa bila sampai di suatu tempat, bocah berusia 3 tahun itupun memantau keadaan sekelilingnya. Semua diperhatikan. Ketika melihat salah satu pintu kamar setengah terbuka, ia pun mengintip dari pintu tersebut. Sejenak Sean terdiam melihat pemandangan yang dia lihat. Kemudian bergegas menemui Bou di dapur.
“Bou, di sini ada Islam?” dengan polos Sean bertanya kepada Bou.
“Kenapa Sean? Bou Islam.” kata Bou.
“Sssttt, jangan keras-keras Bou. Bukan Bou. Lihatlah.” kata Sean sambil mengarahkan Bou menuju kamar dengan pintu setengah terbuka.
“Ooo, itu Kak Lia. Dia sedang sholat.” ujar Bou setelah melihat kedalam kamar. Ternyata dalam kamar ada Kak Lia, sepupu Sean yang baru datang dari Kalimantan. Kak Lia sedang sholat.
“Ooo, Kak Lia Islam …” kata Sean sambil manggut-manggut.
“Iya lho Sean. Bou juga Islam. Sean Islam juga?” tanya Bou.
“Nggak, Sean Kristen.” jawab Sean.
“Ooo …”
“Sst, jangan cerita-cerita lagi kita Bou. Kalau ada yang sholat kita tidak boleh ribut.” ujar Sean dengan sikap sok bijak.
Bou pun manggut-manggut, tetapi tetap tak bisa menahan geli melihat cara dan sikap Sean.
Malam pun menjelang dan ada beberapa saudara yang datang. Setiap ada yang datang tak bosan-bosannya Bou bercerita tentang Sean dan kata-katanya. Menurut Bou, dia benar-benar tak habis pikir bagaimana anak seumur Sean bisa bersikap begitu.
–Gassmom-
Pematangsiantar, 220219
Ps.
Bou, amboru, polu: Panggilan kepada saudara perempuan ayah (Bahasa Batak Simalungun).
“Hmm, koq gitu sih Sean? Anak siapa sih ini? Bisa-bisanya mengganggu terus?” ujarku kepada Sean.
“Hmm, anak siapa ya? Anak anjing … Ha ha ha …” dan si bocah 3 tahun itu terbahak-bahak sambil menari-nari.
“Waduh, Sean. Kenapa bilang begitu? Siapa yang mengajari seperti itu? Pantang ya bilang seperti itu. Sean kan anak mama. Kalau Sean bilang Sean anak anjing berarti kita anjing …” ujarku sedikit gusar karena mendapat jawaban seperti itu.
“Iya Ma, nggak boleh ya Ma? Pantang ya?” ujarnya lagi dan kuiyakan.
***
Keesokan harinya.
“Ma, bulu hidung ada ya?” tanya Sean.
“Ada.”
“Bulu hidung ada, bulu mata ada, bulu ketek ada …, bulu apa lagi Ma?”
“Bulu kaki.”
“Terus, apa lagi?”
“Bulu ayam.”
“Apa lagi?”
“Bulu kucing, bulu anjing.”
“Haaa, mama kenapa bilang anjing? Siapa yang mengajari mama bilang gitu?”
-Gassmom-
Pematangsiantar, 140219
“Jadi, ketika kita menganggap ibadah itu adalah sesuatu yang sakral sudah seharusnyalah kita juga berlaku hormat dan tertib dalam pelaksanaannya. Contohnya para remaja, jangan pada saat ibadah tetapi tangan memegang gadget dan sibuk membalas pesan WA dari gadget. Sungguh itu bukan suatu sikap menghormati.”
Sontak Sachio mengangkat wajahnya dan memandang ke Bapak Pendeta yang sedang berkhotbah di altar. Kemudian si bocah 4 tahun itu melirik mamanya dan dengan perlahan namun pasti dia kemudian memasukkan gadget milik mamanya ke tas si mama. Setelah gadget itu dia simpan, Sachio pun memasang sikap sempurna dan serius memandang ke arah Pendeta.
Si mama sebenarnya mengetahui apa yang Sachio lakukan. Tetapi si mama diam saja walaupun sebenarnya dalam hati sudah geli dan kalau tidak ingat sedang berada ditengah ibadah pasti akan tertawa terpingkal-pingkal mengingat raut wajah Sachio saat kaget seperti tertangkap basah mendengar kata-kata Pendeta itu. Tetapi dalam hati terbersit rasa senang juga, berarti si bocah 4 tahun itu mendengarkan juga khotbah Pendeta terlepas dari dia memahami atau tidak tetapi pasti akan ada paling tidak sedikit hal-hal baik yang lengket di memori bocah itu.
Si mama memang paling senang membawa Sachio ikut kebaktian dewasa karena dia termasuk anak yang tertib saat mengikuti kebaktian. Tetapi sebagaimana halnya anak-anak lain pasti dia akan mengalami bosan juga. Dan itu paling sering dia alami di sessi acara khotbah. Untuk mengatasi bosan itu biasanya dia pinjam gadget si mama dan membuka aplikasi di gadget itu.
Terlepas dari Sachio yang masih bocah yang sibuk dengan gadget saat kebaktian berlangsung, saat ini para remaja memang sering melakukan itu. Saat berada ditengah kebaktian tetapi malah sibuk berselancar di dunia maya melalui gadget di genggaman. Hampir setiap kebaktian ada saja yang seperti itu. Jangankan remaja, kadang orangtua seperti diriku juga khilaf.
Kiranya khotbah pendeta tersebut bisa menyadarkan banyak remaja (atau orangtua) yang selalu sibuk dengan gadget saat kebaktian, kiranya bisa berubah. Sachio si bocah 4 tahun saja langsung sadar dan membuat perubahan.Masak yang lebih dewasa kalah dari Sachio …
-Gassmom-
PematangSiantar, September 2018
note.
Tulisan ini sudah pernah diunggah ke PlukMe.
Pict. Pribadi
Sachio : “Mama, kemarin Abang bilang cita-cita abang ada dua kan?”
Mama : “Iya.”
Sachio: “Sekarang sudah berubah Ma, nggak dua lagi tapi sudah tiga.”
Mama : “O, ya … apa saja itu? Satu, polisi. Dua, tentara. Yang ketiga Pendeta ya Bang? ”
Sachio : “Bukan lho Ma … ”
Mama: “Terus, apa dong?”
Sachio: “Cita-cita Abang yang ketiga itu adalah Bomba. ”
Mama : “Bomba? Apa itu Bomba? Mama tidak tahu. ”
Sachio : “Ish, Mama ini lho. Masak bomba tak tahu. ”
Mama : “Iya, memang Mama tak tahu koq.”
Sachio : “Bomba itu memadamkan kebakaran lho Ma. Kalau ada kebakaran, bomba akan datang menyelamatkan.”
Mama: “Ooo, itu namanya pemadam kebakaran.”
Sachio : “Bomba lho Ma. Mama ini nggak tahu lho. Makanya Mama nonton Ipin Upin, biar tahu. Namanya itu Bomba. Makanya sekarang cita-cita abang sudah tiga, Bomba 1 lagi. Gitu lho Ma … ”
Mama : “Ooo, itu.”
Si Mama hanya bisa mengangguk-angguk tak jelas. Dalam hati tak habis pikir, koq bisa bocah 4 tahun itu punya cita-cita menjadi pemadam kebakaran.
Sebagai orangtua tak lupa selipkan doa dalam hati kiranya Tuhan memberi yang terbaik untuk anak tersayang.
-Gassmom-
Pematangsiantar,210918
note.
Tulisan ini sudah pernah diunggah ke Platform lain.
Pict. pribadi.
Aku benar-benar kaget bercampur panik. Tadi jelas aku meninggalkan 2 jarum dan menusukkan jarum tersebut ke kain aida yang sedang kusulam. Namun begitu kembali dari dapur kedua jarum itu sudah lenyap.
Bukan apa-apa, bukan karena merasa sayang kehilangan jarum yang membuat pekerjaanku menjadi tertunda. Yang membuatku panik adalah membayangkan apa yang akan terjadi bila ternyata jarum itu berada di tempat yang salah. Misalnya berada di sofa dan salah seorang anak duduk di sana dan … waduh, pokoknya bayangan buruk seketika berkelebat di pikiran dan menambah kadar kepanikan.
Akupun mencoba bertanya kepada Sachio si bocah 5 tahun dan Sean yang berusia 3 tahun yang sedang asyik bermain tak jauh dari tempat aku meninggalkan sulaman tadi. Tapi mereka berdua kompak mengatakan tidak tahu.
Akhirnya kucoba mencari lagi dan akhirnya ketemu dalam box tempat benang dan berada di bagian bawah.
Lega karena sudah menemukan jarum yang hilang tersebut, akupun melanjutkan lagi menyulam.
Sambil asyik menusukkan jarum, aku berkata kepada kedua anak tersebut, ” Jarumnya sudah ketemu. Tapi Mama heran memikirkan siapa yang sudah memegang sulaman Mama dan mengutak-atik jarum itu. Karena kalian bilang bukan kalian, jadi Mama rasa hantu yang sudah memegang ini tadi.”
“Hantu Ma?” tanya Sean.
“Iya, hantu. Siapa lagi kalau bukan hantu. Kalian bilang tak ada pegang, berarti hantu itu.” jawabku lagi.
“Hantu? ” tanya Sachio sambil menatapku.
“Iya, hantu.” jawabku lagi dengan serius.
“Hiii, takutlah Ma.” ujar Sachio sambil mendekat.
“Jangan takut Bang. Masak Abang takut sama hantu.” tukas Sean sambil tetap asyik dengan mainannya.
“Hantunya itu aku.”sambung Sean lagi dengan wajah polos tak berdosa.
“Karena, yang ambil jarum itu Sean.” sambungnya lagi sambil tertawa ngakak dibuat-buat seperti biasa kalau sudah ketahuan bersalah.
“Hmmm, berarti Sean yang pegang barang Mama. Kenapa tadi bilang tak tahu?” tanyaku nyaris marah.
“Iyalah.” seperti biasa kalau sudah tak bisa berkelit Sean hanya menjawab singkat sambil tak berpaling dari mainannya.
Dan, tinggal si mama yang terdiam dan tak tahu lagi mau ngomong apa. Mau marah juga percuma bahkan hanya membuat lelah tak berarti.
-Gassmom-
Pematangsiantar, 120119