Jujur, sewaktu membaca judul buku ini, aku sempat ragu untuk membeli dan terlebih dahulu bertanya kepada penjualnya terkait isi. Kebetulan buku ini aku beli dengan kondisi second, seperti kebiasaan selama ini. Bukan berniat untuk rasis tapi hanya ingin tahu sampai sejauh mana bahasan hafalan shalat tersebut.
Februari sudah memasuki pertengahan bulan, namun belum bisa menggenjot minat bacaku untuk lebih. Niat boleh ada, semangat boleh ada, tapi giliran eksekusi pasti kacau. Begitu selalu yang terjadi, penuh drama ala emak rempong.
Mempunyai ayah yang gemar bercerita pastinya memberi kebahagiaan tersendiri. Aku bisa mengatakan hal itu karena kebetulan bapak juga seorang yang gemar bercerita. Terutama tentang kisah-kisah perjalanannya yang pernah bertugas dalam sebuah lembaga pelayanan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Kisah-kisah unik yang dominan dengan masalah rakyat bawah dan pedesaan dengan latar budaya yang berbeda. Kisah demi kisah yang selalu kudengar dengan seksama walaupun sudah berulangkali diceritakan. Persis seperti tokoh si aku yang bernama Dam dalam buku Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye ini.
“Buku ini benar-benar asyik, pokoknya mantap!” Itu jawaban anakku ketika kutanya bagaimana pendapatnya tentang buku ini. Karena kebetulan dia sudah membaca duluan.
Membaca buku ini ibarat menonton film action politik. Penuh intrik dan pertarungan. Baik itu pertarungan fisik maupun pertarungan dalam artian lain, pertarungan politik.