Setelah menyelesaikan buku sebelumnya, Sachio pun melanjutkan membaca buku berjudul Pukat. Buku ini merupakan salah satu dari buku serial Anak-anak Mamak karya penulis terkenal Tere Liye. Seperti biasa siswa kelas dua SD tersebut membaca dengan serius. Tak jarang dia bertanya bila ada kata-kata baru yang belum pernah didengarnya.
Kategori: Cerita Anak
Di Handphone Mamaku

“Hari ini cerita Alkitab kita tentang Kain dan Habel. Di mana pada suatu hari Kain dan Habel mempersembahkan korban Bakaran kepada Tuhan. Tuhan berkenan kepada korban bakaran Habel tetapi sebaliknya Tuhan tidak berkenan kepada korban bakaran Kain.” Bang Jhon sang guru sekolah minggu pun membuka cerita khotbah di hadapan anak-anak sekolah minggu yang mendengarkan dengan serius.
“Sebelum kita memulai cerita, Abang ingin bertanya, siapa yang pernah melihat api kurban bakaran Kain?” Tanya Bang Jhon.
Dan Sachio pun tunjuk tangan.
“Oh, Sachio katanya sudah pernah melihat. Di mana kamu lihat apinya Sachio?”tanya Bang Jhon.
Dengan penuh percaya diri, Sachio pun menjawab, “Di Handphone mamaku.”
Seketika ruangan sekolah minggu pun dipenuhi dengan tawa mendengar jawaban dari Sachio. Hal itu membuat Sachio semakin sumringah karena merasa sudah membuat semua senang karena dia berhasil menjawab pertanyaan dari Bang Jhon.
***
Sesampai di rumah, Sonia sang kakak yang menemani Sachio sekolah minggu pun menceritakan kepada mama tentang Sachio yang menjawab pertanyaan Bang Jhon dan menjawab bahwa dia sudah pernah melihat di handphone mama. Sonia juga menceritakan bagaimana anak-anak sekolah minggu yang lebih besar menertawakan jawaban Sachio. Sachio yang ikut mendengarkan pun langsung menceletuk, “Iya dong Ma, mereka semua tertawa karena mereka senang Sachio sudah menjawab. Dan memang benar Sachio sudah pernah melihat api di handphone mama.”
Tak ingin membuat Sachio patah semangat, mama pun menjawab, “Bagus dong Sachio sudah tunjuk tangan. Dan itu artinya Sachio memperhatikan guru bercerita. Buktinya pertanyaan yang ditanyakan bisa dijawab.”
Mendengar jawaban itu, wajah Sachio pun semakin berseri-seri. Tinggal mama dan Sonia yang tersenyum menahan tawa.
***
Catatan.
Cerita ini adalah sebuah draft dari 2017, berdasarkan kisah pengalaman Sachio sewaktu masih berusia 4 tahun.
Kain dan Habel adalah kisah Alkitab yang tertulis di Perjanjian Lama yaitu kitab Kejadian 4:1-16.
Kain dan Habel adalah anak Adam dan Hawa. Kain menjadi petani dan Habel menggembala kambing domba. Suatu hari Kain dan Habel mempersembahkan korban bakaran kepada Tuhan. Kain mempersembahkan sebagian hasil tanah dan Habel mempersembahkan dari anak sulung dombanya. Korban bakaran Habel berkenan kepada Tuhan tetapi sebaliknya korban bakaran Kain tidak diindahkan Tuhan.
-Gassmom-
Pematangsiantar, 071219
Menghormati
“Ma, hari Senin dan Selasa kami libur. Jadi Sarah tidak sekolah.” lapor Sarah begitu pulang sekolah.
“O, ya? Kenapa bisa libur?” tanya Mama.
“Iya dong Ma. Hari Senin mulai puasa. Jadi kami libur untuk menghormati agama Islam yang berpuasa.” jelas Sarah.
“Tapi khan kalian tidak puasa?”
” Memang tidak, kita khan bukan Islam. Khan sudah Sarah bilang, … menghormati lho Ma.” jelas bocah siswa kelas 2 SD di sebuah sekolah yayasan Katholik tersebut.
“Ooo, menghormati. Apa rupanya menghormati itu?” tanya Mama lagi.
“Mama ini lho, masak tidak tahu menghormati apa. Menghormati itu, kalau Islam hari raya yang Kristen juga libur. Kalau Kristen bernatal maka yang Islam juga libur. Seperti yang Mama bilang itu, kalau sedang ada wirid kita tidak boleh ribut. Jadi kalau kita Natal, mereka juga tidak boleh ribut. Begitu lho Ma.” jelas Sarah panjang lebar.
“O, ya? Tapi di sekolah kalian khan tidak ada yang beragama Islam?”
“Iya lho Ma. Coba dibalikkan kita jadi Islam dan mereka jadi Kristen. Bagaimana kalau tidak dihormati? Makanya kami libur hari Senin dan Selasa. Biarpun tidak ada yang Islam. Pokoknya menghormati lho Ma.”
“Okelah kalau begitu, gantilah bajumu itu.” ujar Mama tanpa berpanjang lebar lagi. Karena tadinya pun Mama hanya berniat menguji sejauh mana pemahaman siswa kelas 2 SD tersebut tentang menghormati. Mendapat jawaban begitu rasanya tidak usah diperpanjang lagi. Biarlah waktu yang akan memperkuat pemahaman dan praktek menghormati dari seorang Sarah.
–Gassmom-
Pematangsiantar, 040519

Azan magrib sudah berkumandang dari mesjid ketika Sean tiba di rumah Bou.
Karena kakaknya yang telah lebih dahulu tiba ternyata sedang asyik nonton maka Sean pun mencari kesibukan sendiri.
Seperti biasa bila sampai di suatu tempat, bocah berusia 3 tahun itupun memantau keadaan sekelilingnya. Semua diperhatikan. Ketika melihat salah satu pintu kamar setengah terbuka, ia pun mengintip dari pintu tersebut. Sejenak Sean terdiam melihat pemandangan yang dia lihat. Kemudian bergegas menemui Bou di dapur.
“Bou, di sini ada Islam?” dengan polos Sean bertanya kepada Bou.
“Kenapa Sean? Bou Islam.” kata Bou.
“Sssttt, jangan keras-keras Bou. Bukan Bou. Lihatlah.” kata Sean sambil mengarahkan Bou menuju kamar dengan pintu setengah terbuka.
“Ooo, itu Kak Lia. Dia sedang sholat.” ujar Bou setelah melihat kedalam kamar. Ternyata dalam kamar ada Kak Lia, sepupu Sean yang baru datang dari Kalimantan. Kak Lia sedang sholat.
“Ooo, Kak Lia Islam …” kata Sean sambil manggut-manggut.
“Iya lho Sean. Bou juga Islam. Sean Islam juga?” tanya Bou.
“Nggak, Sean Kristen.” jawab Sean.
“Ooo …”
“Sst, jangan cerita-cerita lagi kita Bou. Kalau ada yang sholat kita tidak boleh ribut.” ujar Sean dengan sikap sok bijak.
Bou pun manggut-manggut, tetapi tetap tak bisa menahan geli melihat cara dan sikap Sean.
Malam pun menjelang dan ada beberapa saudara yang datang. Setiap ada yang datang tak bosan-bosannya Bou bercerita tentang Sean dan kata-katanya. Menurut Bou, dia benar-benar tak habis pikir bagaimana anak seumur Sean bisa bersikap begitu.
–Gassmom-
Pematangsiantar, 220219
Ps.
Bou, amboru, polu: Panggilan kepada saudara perempuan ayah (Bahasa Batak Simalungun).
Sachio dan Gadget

“Jadi, ketika kita menganggap ibadah itu adalah sesuatu yang sakral sudah seharusnyalah kita juga berlaku hormat dan tertib dalam pelaksanaannya. Contohnya para remaja, jangan pada saat ibadah tetapi tangan memegang gadget dan sibuk membalas pesan WA dari gadget. Sungguh itu bukan suatu sikap menghormati.”
Sontak Sachio mengangkat wajahnya dan memandang ke Bapak Pendeta yang sedang berkhotbah di altar. Kemudian si bocah 4 tahun itu melirik mamanya dan dengan perlahan namun pasti dia kemudian memasukkan gadget milik mamanya ke tas si mama. Setelah gadget itu dia simpan, Sachio pun memasang sikap sempurna dan serius memandang ke arah Pendeta.
Si mama sebenarnya mengetahui apa yang Sachio lakukan. Tetapi si mama diam saja walaupun sebenarnya dalam hati sudah geli dan kalau tidak ingat sedang berada ditengah ibadah pasti akan tertawa terpingkal-pingkal mengingat raut wajah Sachio saat kaget seperti tertangkap basah mendengar kata-kata Pendeta itu. Tetapi dalam hati terbersit rasa senang juga, berarti si bocah 4 tahun itu mendengarkan juga khotbah Pendeta terlepas dari dia memahami atau tidak tetapi pasti akan ada paling tidak sedikit hal-hal baik yang lengket di memori bocah itu.
Si mama memang paling senang membawa Sachio ikut kebaktian dewasa karena dia termasuk anak yang tertib saat mengikuti kebaktian. Tetapi sebagaimana halnya anak-anak lain pasti dia akan mengalami bosan juga. Dan itu paling sering dia alami di sessi acara khotbah. Untuk mengatasi bosan itu biasanya dia pinjam gadget si mama dan membuka aplikasi di gadget itu.
Terlepas dari Sachio yang masih bocah yang sibuk dengan gadget saat kebaktian berlangsung, saat ini para remaja memang sering melakukan itu. Saat berada ditengah kebaktian tetapi malah sibuk berselancar di dunia maya melalui gadget di genggaman. Hampir setiap kebaktian ada saja yang seperti itu. Jangankan remaja, kadang orangtua seperti diriku juga khilaf.
Kiranya khotbah pendeta tersebut bisa menyadarkan banyak remaja (atau orangtua) yang selalu sibuk dengan gadget saat kebaktian, kiranya bisa berubah. Sachio si bocah 4 tahun saja langsung sadar dan membuat perubahan.Masak yang lebih dewasa kalah dari Sachio …
-Gassmom-
PematangSiantar, September 2018
note.
Tulisan ini sudah pernah diunggah ke PlukMe.
Pict. Pribadi

Sachio : “Mama, kemarin Abang bilang cita-cita abang ada dua kan?”
Mama : “Iya.”
Sachio: “Sekarang sudah berubah Ma, nggak dua lagi tapi sudah tiga.”
Mama : “O, ya … apa saja itu? Satu, polisi. Dua, tentara. Yang ketiga Pendeta ya Bang? ”
Sachio : “Bukan lho Ma … ”
Mama: “Terus, apa dong?”
Sachio: “Cita-cita Abang yang ketiga itu adalah Bomba. ”
Mama : “Bomba? Apa itu Bomba? Mama tidak tahu. ”
Sachio : “Ish, Mama ini lho. Masak bomba tak tahu. ”
Mama : “Iya, memang Mama tak tahu koq.”
Sachio : “Bomba itu memadamkan kebakaran lho Ma. Kalau ada kebakaran, bomba akan datang menyelamatkan.”
Mama: “Ooo, itu namanya pemadam kebakaran.”
Sachio : “Bomba lho Ma. Mama ini nggak tahu lho. Makanya Mama nonton Ipin Upin, biar tahu. Namanya itu Bomba. Makanya sekarang cita-cita abang sudah tiga, Bomba 1 lagi. Gitu lho Ma … ”
Mama : “Ooo, itu.”
Si Mama hanya bisa mengangguk-angguk tak jelas. Dalam hati tak habis pikir, koq bisa bocah 4 tahun itu punya cita-cita menjadi pemadam kebakaran.
Sebagai orangtua tak lupa selipkan doa dalam hati kiranya Tuhan memberi yang terbaik untuk anak tersayang.
-Gassmom-
Pematangsiantar,210918
note.
Tulisan ini sudah pernah diunggah ke Platform lain.
Pict. pribadi.

Aku benar-benar kaget bercampur panik. Tadi jelas aku meninggalkan 2 jarum dan menusukkan jarum tersebut ke kain aida yang sedang kusulam. Namun begitu kembali dari dapur kedua jarum itu sudah lenyap.
Bukan apa-apa, bukan karena merasa sayang kehilangan jarum yang membuat pekerjaanku menjadi tertunda. Yang membuatku panik adalah membayangkan apa yang akan terjadi bila ternyata jarum itu berada di tempat yang salah. Misalnya berada di sofa dan salah seorang anak duduk di sana dan … waduh, pokoknya bayangan buruk seketika berkelebat di pikiran dan menambah kadar kepanikan.
Akupun mencoba bertanya kepada Sachio si bocah 5 tahun dan Sean yang berusia 3 tahun yang sedang asyik bermain tak jauh dari tempat aku meninggalkan sulaman tadi. Tapi mereka berdua kompak mengatakan tidak tahu.
Akhirnya kucoba mencari lagi dan akhirnya ketemu dalam box tempat benang dan berada di bagian bawah.
Lega karena sudah menemukan jarum yang hilang tersebut, akupun melanjutkan lagi menyulam.
Sambil asyik menusukkan jarum, aku berkata kepada kedua anak tersebut, ” Jarumnya sudah ketemu. Tapi Mama heran memikirkan siapa yang sudah memegang sulaman Mama dan mengutak-atik jarum itu. Karena kalian bilang bukan kalian, jadi Mama rasa hantu yang sudah memegang ini tadi.”
“Hantu Ma?” tanya Sean.
“Iya, hantu. Siapa lagi kalau bukan hantu. Kalian bilang tak ada pegang, berarti hantu itu.” jawabku lagi.
“Hantu? ” tanya Sachio sambil menatapku.
“Iya, hantu.” jawabku lagi dengan serius.
“Hiii, takutlah Ma.” ujar Sachio sambil mendekat.
“Jangan takut Bang. Masak Abang takut sama hantu.” tukas Sean sambil tetap asyik dengan mainannya.
“Hantunya itu aku.”sambung Sean lagi dengan wajah polos tak berdosa.
“Karena, yang ambil jarum itu Sean.” sambungnya lagi sambil tertawa ngakak dibuat-buat seperti biasa kalau sudah ketahuan bersalah.
“Hmmm, berarti Sean yang pegang barang Mama. Kenapa tadi bilang tak tahu?” tanyaku nyaris marah.
“Iyalah.” seperti biasa kalau sudah tak bisa berkelit Sean hanya menjawab singkat sambil tak berpaling dari mainannya.
Dan, tinggal si mama yang terdiam dan tak tahu lagi mau ngomong apa. Mau marah juga percuma bahkan hanya membuat lelah tak berarti.
-Gassmom-
Pematangsiantar, 120119

“Aduh! Kak, Kak Sarah! Bantuin … ”
“Apa? ”
“Tolong Abang kak. ”
Sarah si kakak pun bergegas menemui Sachio yang sedang susah payah mempertahankan jemuran handuk bongkar pasang yang sudah setengah tumbang. Tapi bukan semakin kokoh, rak handuk tersebut pun semakin terpisah satu sama lain.
Melihat situasi tersebut, Sachio bocah lelaki usia 4 tahun itu pun bergegas menemui mama mereka yang sedang sibuk menyetrika, yang pura-pura tidak tahu dengan apa yang sedang terjadi.
“Ma, beli lagi rak handuk kita ya Ma.” ujar Sachio dengan wajah penuh harap.
“Nggak, uang mama nggak cukup.” jawab sang Mama.
“Berapa rupanya harganya?” tanya Sachio lagi.
“Satu juta. ”
“Oh … ” Sachio pun bergegas ke halaman lagi menemui Sarah si kakak yang masih setia di dekat rak handuk.
“Kak, kata mama harganya satu juta. Mahal … Mama nggak mungkin beli yang baru.” lapor Sachio dengan suara pelan kepada Sarah.
Tak berapa lama, tok tok tok … Suara batu yang ditokok ke rak handuk pun riuh terdengar. Sang mama pun penasaran dan mengintip dari jendela. Ternyata Sarah dan Sachio sedang bekerjasama bahu membahu memperbaiki rak handuk yang nyaris tercerai berai itu. Sambil tersenyum si Mama pun kembali larut dengan kesibukannya dan tetap bersikap seolah-olah tidak perduli.
Setengah jam kemudian Sarah dan Sachio masuk ke rumah dengan wajah riang. Sarah membawa rak handuk yang sudah bersatu kembali dan merapikan kembali handuk yang sudah jatuh bersama Sachio.
“Ma, rak handuknya sudah bagus ya. Mama tak usah beli yang baru lagi. Mahal kan Ma? “ujar Sarah dengan senyum terkulum.
“Oke, makasih ya Boru.” jawab sang mama singkat. Sambil melanjutkan menyetrika sang mama pun tersenyum bahagia sambil bergumam, “Iya, rak handuknya memang tidak mahal tapi yang mahal itu persaudaraan dan kerjasama kalian.”
The end.
note.
– boru= panggilan sayang orang Batak kepada anak perempuannya.
– Tulisan ini sudah pernah diunggah sebelumnya pada tanggal penulisan di platform Plukme
-Gassmom-
Pematangsiantar, 230918
Sumber Gambar: foto Pribadi

Suatu malam,
Mama: “Sachio, sudah bisa tidur ya. Sudah larut malam ini.”
Sachio: “Nanti saja Ma.”
Mama: “Jangan nanti, tidurlah. Besok harus cepat bangun karena mama dinas pagi.”
Sachio: “Iyalah.”
Mama: “Eh, koq tidak berdoa? Berdoa dulu.”
Sachio: “Tak usah Ma, kan sudah malam kali. Berarti Tuhan sudah tidur. Jadi berdoa pun abang nanti Tuhan tidak dengar karena sudah tidur.”
Mama: “…………..??? Tuhan tak pernah tidur. Ayo, mama saja yang buat doa malam ini. Mari kita berdoa.”
(Si Mama tak tahu bagaimana menjelaskan, jadi sebelum pembicaraan berlanjut si mama buru-buru memimpin doa)
#Sachio#my_Sachio#gassmom_punya_cerita
-Gassmom-