Hari ini perayaan Idul Adha bagi umat Muslim. Takbir berkumandang dari mesjid komplek sejak kemarin malam dan pagi pun sudah berkumandang sejak pukul 4 subuh.
Tag: toleransi
Senin yang sesuatu. Sama seperti Senin yang sebelum-sebelumnya. Menghabiskan setengah hari dengan rapat dan rapat.
Begitu juga hari ini, diawali dengan rapat pembinaan dipimpin oleh pimpinan dilanjutkan oleh para kepala bidang. Sesudah itu rapat koordinasi lagi menentukan jadwal kegiatan.
Ada yang berbeda hari ini. Bila biasanya rapat disuguhkan air minum kemasan tetapi hari ini tidak ada karena kebetulan hari ini pembukaan puasa.
Begitu juga waktu rapat di ruangan pimpinan, entah kebetulan atau tidak ternyata air minum kemasan yang biasanya selalu tersedia pun hari ini hanya tinggal 2 buah.
Begitu selesai rapat, sudah tengah hari. Kami pun mengakhiri dengan bincang bebas ala kami. Seorang teman mengatakan bahwa dia sangat haus. Rapat hari ini membuat lupa minum. Aku pun menyahuti ucapan itu dan mengatakan kalau aku juga sebenarnya sudah sangat haus dan sudah dari tadi ingin minum tetapi tidak jadi karena kebetulan aku berada satu kursi dengan ibu Bintang dan Ibu Santi. Kedua temanku yang berhijab tersebut sedang menjalankan puasa dan aku tak mungkin minum di depan mereka.
Ternyata ibu Bintang mendengar ucapanku dan menjawab, “Nggak apa-apa lho Bu. Kalau ibu minum bukan berarti tidak menghormati kami. Karena memang situasinya yang begitu. Kami juga tidak apa-apa koq. Bahkan sesungguhnya itulah arti puasa itu. Bisa menahan diri walaupun ada godaan. Lain halnya kalau Ibu sudah tahu kami puasa tetapi ibu malah mengajak kami makan, nah kalau itu baru …” ujar Ibu Bintang sambil tertawa.
“Iya sih Bu. Tapi kami tetap segan juga koq.” ujarku lagi.
Dan kami pun melanjutkan perbincangan sampai akhirnya bubar karena sudah jam istirahat.
Itulah sekelumit cerita pada hari pertama puasa dari Kota Pematangsiantar yang mendapat peringkat ke tiga sebagai kota paling toleran se Indonesia.
–Gassmom-
Pematangsiantar, 060519
Menghormati
“Ma, hari Senin dan Selasa kami libur. Jadi Sarah tidak sekolah.” lapor Sarah begitu pulang sekolah.
“O, ya? Kenapa bisa libur?” tanya Mama.
“Iya dong Ma. Hari Senin mulai puasa. Jadi kami libur untuk menghormati agama Islam yang berpuasa.” jelas Sarah.
“Tapi khan kalian tidak puasa?”
” Memang tidak, kita khan bukan Islam. Khan sudah Sarah bilang, … menghormati lho Ma.” jelas bocah siswa kelas 2 SD di sebuah sekolah yayasan Katholik tersebut.
“Ooo, menghormati. Apa rupanya menghormati itu?” tanya Mama lagi.
“Mama ini lho, masak tidak tahu menghormati apa. Menghormati itu, kalau Islam hari raya yang Kristen juga libur. Kalau Kristen bernatal maka yang Islam juga libur. Seperti yang Mama bilang itu, kalau sedang ada wirid kita tidak boleh ribut. Jadi kalau kita Natal, mereka juga tidak boleh ribut. Begitu lho Ma.” jelas Sarah panjang lebar.
“O, ya? Tapi di sekolah kalian khan tidak ada yang beragama Islam?”
“Iya lho Ma. Coba dibalikkan kita jadi Islam dan mereka jadi Kristen. Bagaimana kalau tidak dihormati? Makanya kami libur hari Senin dan Selasa. Biarpun tidak ada yang Islam. Pokoknya menghormati lho Ma.”
“Okelah kalau begitu, gantilah bajumu itu.” ujar Mama tanpa berpanjang lebar lagi. Karena tadinya pun Mama hanya berniat menguji sejauh mana pemahaman siswa kelas 2 SD tersebut tentang menghormati. Mendapat jawaban begitu rasanya tidak usah diperpanjang lagi. Biarlah waktu yang akan memperkuat pemahaman dan praktek menghormati dari seorang Sarah.
–Gassmom-
Pematangsiantar, 040519

Azan magrib sudah berkumandang dari mesjid ketika Sean tiba di rumah Bou.
Karena kakaknya yang telah lebih dahulu tiba ternyata sedang asyik nonton maka Sean pun mencari kesibukan sendiri.
Seperti biasa bila sampai di suatu tempat, bocah berusia 3 tahun itupun memantau keadaan sekelilingnya. Semua diperhatikan. Ketika melihat salah satu pintu kamar setengah terbuka, ia pun mengintip dari pintu tersebut. Sejenak Sean terdiam melihat pemandangan yang dia lihat. Kemudian bergegas menemui Bou di dapur.
“Bou, di sini ada Islam?” dengan polos Sean bertanya kepada Bou.
“Kenapa Sean? Bou Islam.” kata Bou.
“Sssttt, jangan keras-keras Bou. Bukan Bou. Lihatlah.” kata Sean sambil mengarahkan Bou menuju kamar dengan pintu setengah terbuka.
“Ooo, itu Kak Lia. Dia sedang sholat.” ujar Bou setelah melihat kedalam kamar. Ternyata dalam kamar ada Kak Lia, sepupu Sean yang baru datang dari Kalimantan. Kak Lia sedang sholat.
“Ooo, Kak Lia Islam …” kata Sean sambil manggut-manggut.
“Iya lho Sean. Bou juga Islam. Sean Islam juga?” tanya Bou.
“Nggak, Sean Kristen.” jawab Sean.
“Ooo …”
“Sst, jangan cerita-cerita lagi kita Bou. Kalau ada yang sholat kita tidak boleh ribut.” ujar Sean dengan sikap sok bijak.
Bou pun manggut-manggut, tetapi tetap tak bisa menahan geli melihat cara dan sikap Sean.
Malam pun menjelang dan ada beberapa saudara yang datang. Setiap ada yang datang tak bosan-bosannya Bou bercerita tentang Sean dan kata-katanya. Menurut Bou, dia benar-benar tak habis pikir bagaimana anak seumur Sean bisa bersikap begitu.
–Gassmom-
Pematangsiantar, 220219
Ps.
Bou, amboru, polu: Panggilan kepada saudara perempuan ayah (Bahasa Batak Simalungun).

Kota Pematangsiantar sudah dari dulu dikenal sebagai kota dengan toleransi umat beragama sangat tinggi. Di kota ini Mesjid, gereja dan kuil/ Vihara berdiri megah di mana-mana.
Patung Dewi Kwan in difoto dari Gedung Bakordik RSUD Djasamen
Patung Dewi Kwan in dari seberang Sungai Bah Bolon
Salah satu Vihara yang ada di Pematang Siantar adalah Vihara Avalokitesvara yang mana di Vihara tersebut terdapat Patung Dewi Kwan In. Merupakan patung Dewi Kwan In tertinggi di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Vihara ini merupakan salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi di PematangSiantar. Kebetulan lokasinya juga dekat pusat kota yaitu terletak di Jl. Pusuk Buhit, Kecamatan Siantar Timur, di tepi Sungai Bah Bolon.
Vihara terbuka untuk umum, umat beragama apapun boleh berkunjung. Tetapi kalau sudah sore dan waktunya mereka beribadah maka kita dipersilahkan pulang. Selain Patung Dewi Kwan In juga terdapat banyak patung lain. Tetapi yang lebih dikenal orang adalah Dewi Kwan In.
Karena foto-foto Patung Dewi Kwan In sudah banyak di mana-mana jadi foto Patung Dewi Kwan In kali ini saya ambil dari sudut yang berbeda yang jarang diambil orang. Difoto dari tingkat 2 Gedung Bakordik RSUD Djasamen yang berada di seberang Sungai Bah Bolon. Kalau ingin melihat foto-foto lain di Google pasti sudah banyak koq.
-Gassmom-
Pematangsiantar, 220918
Sumber Foto :Dokumentasi Pribadi
Tulisan ini sudah pernah diunggah di PlukMe.

Kota Pematangsiantar adalah kota dengan sebutan kota toleransi karena di kota ini umat beragama yang berbeda bisa hidup rukun dan berdampingan. Bebas menjalankan ibadah tanpa ada intervensi dari pihak lain. Itu yang terjadi sampai saat ini dan semoga selalu seperti itu.
Di Kota Pematangsiantar ini Mesjid, gereja dan Vihara ada dimana-mana. Aku juga hampir tahu semua lokasinya.
Tapi ternyata ada yang tidak kutahu selama ini. Bahwa ternyata di kota kami ini Kuil Hindu juga ada. Dan ternyata bukan aku saja yang tidak tahu, banyak koq temanku yang tidak tahu. Padahal ternyata sudah berdiri sejak 20 tahun yang lalu, walaupun memang diresmikan secara resmi oleh Walikota Pematangsiantar pada tahun 2017 kemarin.
Gambar: Tata cara masuk Kuil
Aku juga mengetahui keberadaan kuil tersebut secara tidak sengaja. Sewaktu ada sesuatu dari kantor yang terpaksa harus kusampaikan sendiri kepada Pandita Kuil tersebut.
Kuil Hindu ini bernama Shri Mariamman Koil, berada di tepi Sungai Bah Bolon dekat pemakaman muslim yang di jl. Pane. Tetapi kalau belum tahu mungkin akan susah menemukan kuil ini karena jalan kesana bukan jalan besar tetapi gang dengan lebar +- 1 meter, gang tersebut berada persis di samping Gereja Penyebaran Injil (GPI) atau yang lebih sering disebut orang sebagai Gereja Pendeta Dion. Bangunan kuil berada di belakang bangunan lain di tempat yang agak rendah dari bangunan lain. Mereka memilih lokasi tersebut karena berada di tepi Sungai Bah bolon karena menurut Pandita, syarat berdiri kuil harus dekat aliran sungai karena sebelum ibadah jemaat wajib mencuci kaki terlebih dahulu di aliran sungai. Sewaktu kusinggung tentang air yang tidak jernih, menurut Bapak Pandita tidak menjadi masalah yang penting “air”, karena bagi mereka air itu adalah sumber kehidupan, manusia bisa hidup tanpa makan tetapi mustahil bisa hidup kalau tanpa minum, begitu kata Bapak Pandita.
Lokasi kuil tidak terlalu luas, kuil juga tidak termasuk besar. Menurut Bapak Pandita kalau ibadah yang dilakukan setiap hari Jumat, sebagian jemaat yang berjumlah sekitar 100 orang melakukan ibadah di halaman kuil. Walaupun tidak terlalu luas tetapi suasana disana cukup nyaman, angin berhembus dengan sejuk dan jauh dari hingar bingar kendaraan.
Gambar: Bagian luar Kuil
Gambar: Patung Dewa dan Dewi (Lupa namanya)
Gambar: Ruangan di dalam Kuil
Kami tidak terlalu lama berada di Kuil tersebut tetapi sempat juga mendokumentasikan Kuil walaupun hanya dengan modal kamera Gadgetku yang sudah tidak bagus lagi. Tetapi lumayanlah, jadi tahu tentang Kuil Hindu di Pematangsiantar dan semakin menguatkan sebutan kota toleransi bagi Kota ini.
-Gassmom-
Pematangsiantar, 220918
Sumber foto :Dokumentasi Pribadi