“Kak Ndang, besok pagi izin sebentar ke dapur umum ya. Mau sahur bersama di sana,” kata Evi, tim dinas malamku.
Malam ini adalah hari pertama untuk giliran shift malam kami. Seperti biasa kami bertiga. Kebetulan besok adalah puasa pertama untuk umat Muslim. Ruangan kami memang belum memiliki fasilitas microwave atau sejenisnya untuk menyiapkan makanan sahur, hanya dispenser dan kulkas. Tahun-tahun sebelumnya, teman sesama Muslim melaksanakan ibadah puasa dengan memanfaatkan apa yang ada.
“Oke. Memangnya ada disediakan ya?” Aku balik bertanya tanpa melepaskan pandangan dari dokumen pasien di hadapanku.
“Bukan disediakan sih, Kak. Inisiatif kami sendiri. Kemarin kami membuat pertemuan dan memutuskan untuk sahur bersama di dapur, biar makanannya hangat, gitu.”
“Oh, iyalah. Lebih bagus memang begitu. Karena bagaimanapun, kita sudah begadang. Jadi kalau bisa sahur dengan yang hangat ya, Vi?” Polma, teman satu tim kami yang sedang membuat catatan jam pemberian suntikan pun ikut nimbrung. “Doakan saja, semoga pasien kita aman semua, Vi.” ujarnya sambil tertawa.
“Semoga aman, Kak. Amin.” sahut Evi. Dia pun masuk ke ruangan perawatan untuk memberikan ekstra diet pasien, melalui selang NGT.
“Kalau pasiennya tidak bertambah, sepertinya aman ini, Pol. Karena mereka sudah stabil, mungkin besok sudah dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Bantu aku, yok, kita alih baringkan mereka.” Aku mengajak Polma untuk mengganti posisi tidur pasien.
Demikianlah kesibukan kami pada malam ini, di ruangan perawatan intensive. Ada 4 pasien dengan status total care yang harus kami rawat. Kami beruntung kondisi tanda vital sudah stabil, namun begitu tetap harus waspada. Karena kondisi bisa berubah sewaktu-waktu.
****
Hingga tengah malam, semua masih aman. Namun pukul dua dini hari, ada airphone dari IGD. Akan ada pasien dengan kondisi kritis. Pasien kecelakaan dengan kesadaran gaduh gelisah.
Kami pun mempersiapkan segala sesuatu untuk menerima pasien tersebut. Tak berapa lama, pasien diantar. Benar saja, pasien sangat gelisah. Kami pun berbagi tugas, bukan perkara mudah menangani pasien begitu, apalagi dengan perawakan kami bertiga yang agak kurus.
Sedang sibuk menangani pasien baru, ada panggilan lagi dari ruangan perawatan biasa. Ada pasien yang akan pindah ke tempat kami. Kondisi drop dengan tanda vital yang sangat jelek.
Tak berapa lama, pasien tersebut diantarkan oleh perawat ruangan sebelumnya, bersama dengan co-as dan dokter jaga. Kondisi sudah sangat jelek, tanda vital juga sudah memburuk. Keluarga pasien yang menemani pun sudah menangis histeris melihat kondisi keluarganya. Karena sudah kritis, mereka kami biarkan di dalam untuk mendampingi pasien tersebut, juga berdoa, sembari tim medis melakukan pertolongan.
Sedaya upaya dilakukan, namun ternyata tidak tertolong lagi. Walaupun sempat histeris, namun keluarga pasien sangat kooperatif. Hingga akhirnya jenazah didorong keluar dari ruang perawatan untuk mendapat perawatan jenazah.
****
Jenazah sudah diserahkan kepada petugas yang melakukan perawatan jenazah. Pasien yang gaduh gelisah masih gelisah walaupun sudah diberi terapi untuk kondisinya. Namun posisi pasien sudah kami atur sedemikian rupa untuk menghindari cedera yang tidak diinginkan. Beruntung 4 pasien sebelumnya tetap dalam kondisi stabil.
Kami duduk kembali di meja perawatan untuk membuat laporan demi laporan untuk pertanggungjawaban tugas kami.
“Wah, Evi β¦. Sudah jam 4 lewat. Gimana sahurmu?” Polma yang baru duduk, tersentak melihat ke jam dinding.
“Sudah, Kak,” sahut Evi. Karena sudah pagi, dia sedang mempersiapkan peralatan untuk memandikan pasien.
“Jadi apanya, Vi? Dari tadi kita di sini terus. Kapan perginya kamu ke dapur?” Sambil tertawa, aku pun bertanya.
“Tidak jadi ke dapur, Kak. Evi sahur di sini saja. Tadi sewaktu orang kakak sedang resusitasi, Evi sempatkan makan roti snack malam kita.”
“Oh β¦. Apa kuat nanti? Awas tumbang lho. Ini masih malam pertama, perjuangan kita dua malam lagi.” Polma memandang Evi dengan tatapan prihatin.
“Insyaallah, kalau kita niat, pasti kuat, Kak.” Evi pun menjawab dengan yakin.
“Oh β¦.” Aku dan Polma hanya bergumam singkat. Tak tahu mau mengatakan apa lagi. Bukan karena kemauan kami begitu. Kalau boleh berharap, sepanjang malam pasien aman tenteram supaya kami juga dapat melewati malam tanpa lelah. Evi juga dapat menjalankan ibadahnya dengan lancar. Akan tetapi, tidak ada yang harus disesali karena ketika kami memutuskan menjalani profesi ini, itu artinya sudah siap juga menanggung segala resikonya.
Pematangsiantar, 19 April 2021
-Gassmom-
Catatan.
Entah kenapa, aku tak pernah bisa membuat cerita tentang dunia yang sekian lama aku geluti ini. Namun, tema di grup hari ini membuatku tiba-tiba terinspirasi. Mungkin jauh dari bagus karena buatnya juga mendadak.
Sorry, aku pinjam nama kalian ya Evi Novitasari dan Polmarum Sihaloho πππ
4 replies on “Sahur Pertama Evi”
semangat selalu Moms! π
SukaDisukai oleh 1 orang
Semangat untuk kita, Bu.ππ
SukaSuka
Kak Sondang, aku juga pengen sahuuur
SukaDisukai oleh 1 orang
Oke …πππ
SukaSuka