Tadinya Sachio tampak begitu semangat untuk menyelesaikan tugas sekolah dengan cepat. Tugas pertama yang dikirim gurunya dari pesan WhatsApp adalah matematika. Itu adalah pelajaran yang dia suka dan biasanya bisa diselesaikan dengan cepat. Bila cepat selesai, itu artinya punya banyak waktu untuk bermain.
“Matematika, enteng ini.” Seperti biasa, itulah ungkapan rasa senangnya.
Biasanya kalau matematika tidak usah diajari lagi, selalu bisa mengerjakan sendiri. Tugas mama atau kakak tinggal memeriksa serta memastikan benar atau salah. Yang beruntung tentu saja si mama, jadi punya banyak waktu luang untuk mengerjakan hal lain.
Namun, tak berapa lama kemudian, siswa kelas 2 SD itu datang lagi menemui mama dengan membawa buku serta alat tulis. Wajahnya tampak muram.
“Ma, Abang tidak bisa mengerjakan tugasnya.” ujarnya pelan, wajahnya tampak semakin muram.
“Lho, bukannya tadi Abang bilang enteng?”
“Matematika yang enteng. Tapi yang lain susah.” jawabnya pelan.
“Tugas apa rupanya?”
“Menulis puisi tentang alam. Abang tak tahu menulis puisi …. Di majalah Bobo, ada sih. Tapi Mama bilang tidak boleh menulis dari situ, karena itu menyontek.”
“Iya, dong. Tetap tidak boleh kalau menyontek. Kalau membaca dan meniru bisa, tapi itu pun kata-katanya tidak boleh sama.” tegas mama, mengulang lagi apa yang selalu dia katakan.
“Jadi, gimana, Ma? Abang tak tahu membuat puisi ….” ujarnya lagi sambil mengedikkan bahu.
Mama pun membaca lagi petunjuk dari buku panduan. “Oke, Mama akan bantu. Tetapi Abang tetap harus berpikir, ya.”
“Oke, Ma.”
“Nah, sekarang ambil buku sele-sele. Kita harus membuat sele-sele duluan, kalau sudah selesai baru dituliskan ke buku tugas.”
Sachio pun bergegas mengambil buku sele-sele miliknya.
“Oke, sekarang kita mulai. Kemarin sebenarnya Abang sudah membuat puisi tentang mobil mainan. Ya, kek gitu jugalah membuat puisi tentang alam. Kemarin koq bisa?”
“Namanya Abang cinta mobilan itu, jadi bisa Abang karang.” sahut Sachio sambil tertawa sumringah.
“Alah, alasan ….”
“Iya, lho Ma.”
“Iyalah, itu pun jadi. Sekarang kita buat puisinya. Sebelum mulai, mama tanya dulu. Apa yang Abang tahu tentang alam?” Mama pun mulai serius.
“Alam ….” Sachio pun mengerutkan kening seolah berpikir serius. “Abang tahu sih, Ma. Alam itu tentang gunung, laut, pemandangan , tapi ….”
“Tapi apa?”
“Ada satu yang lebih Abang ingat tentang alam.” ujarnya lagi sambil tertawa.
“Apa itu? Ya, sudah kalau ada yang Abang ingat, itulah tulis jadi puisi.” Mama pun mulai senang, berarti Sachio sudah mengerti dan tidak butuh dibantu lagi.
“Itu, Abang langsung ingat bapak si Azam. Nama bapaknya, Alam … he he he. Atau Abang tulis saja puisinya, Alam bapaknya Azam, gitu?” lanjutnya terkekeh geli.
Mama yang tadinya serius pun ikut tertawa, “Oh, ya ampun. Ada-ada saja. Mama pikir tadi apa. Sudahlah, lekas kerjakan.”
Pematangsiantar, 25/01/21
-Gassmom-
4 replies on “Puisi Tentang Alam”
hai kak Sondang, salam kenal ya 🙂
setelah sekian lama akhirnya aku dengar lagi istilah ‘buku sele-sele’ haha… anak Medan dan sekitarnya pasti paham banget sama buku ini 😀 😀 jadi tuntaskah puisi tentang alam itu kak?
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya, sele-sele …😀😀
Tuntaslah, walaupun gitu deh😀😀😀
SukaSuka
Hati2.. nanti bisa merembet ke Alam mbah dukun. 😅😃
Wah sachio cepat nangkap. Pasti puisinya udah jadi nih.
SukaDisukai oleh 1 orang
He he he, nggak kenal dia Alam versi Mbah dukun Pak…😂
SukaSuka