
Membaca buku ini ibarat menonton film action politik. Penuh intrik dan pertarungan. Baik itu pertarungan fisik maupun pertarungan dalam artian lain, pertarungan politik.
Anak mudanya bernama Thomas (biasanya kami memanggil jagoan dalam film action dengan sebutan “anak muda”). Aku membayangkan pemeran Thomas adalah aktor Joe Taslim yang berwajah oriental, smart, gagah dan ahli bela diri. Karena tokoh utama dalam cerita ini juga dari etnis Tionghoa.
Alur cerita bergulir begitu cepat. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi hanya dalam waktu kurang dari 3 hari namun mengubah banyak hal, menyangkut pergolakan yang sedang terjadi di sebuah negeri. Situasi yang diumpamakan sedang berada di ujung tanduk kehancuran akibat ulah mafia hukum.
Membaca buku ini jadi semakin membuka ingatan akan apa yang terjadi di Indonesia. Aku jadi ingat dengan proyek mangkrak Hambalang dan kasus Bank Century. Walau di buku disebut dengan nama yang berbeda.
Membaca buku ini aku juga jadi teringat dengan satu sosok sederhana dan baik dari Indonesia. Dalam cerita ini masih dicalonkan sebagai kandidat calon presiden. Dari segi ideologis dan riwayat jabatan, hampir sama persis. Hanya dibedakan oleh jumlah dan jenis kelamin anak.
Iseng, aku googling tahun terbit cetakan pertama buku ini dan ternyata April 2013. Berarti persis dalam masa-masa menjelang Pilpres 2014. Jadi menimbulkan pertanyaan dalam hatiku, apa mungkin ini adalah kisah sesungguhnya di balik salah satu momentum nasional tersebut?
Negeri di ujung tanduk, seperti judulnya. Sebuah negara yang nyaris hancur karena banyaknya tokoh-tokoh yang seharusnya memikirkan kesejahteraan rakyat tapi ternyata tampil atas nama kepentingan. Merekalah para mafia hukum. Itulah sebabnya para pemangku kepentingan tersebut tidak senang ketika ada seorang kandidat calon presiden yang tidak sealur dengan mereka dan dipastikan akan membongkar semua yang tidak sesuai dengan hukum.
Kandidat yang dimaksud adalah sosok baik dan sederhana tadi yang merupakan klien Thomas. Thomas berprofesi sebagai konsultan politik. Hal tersebutlah yang menjadi pemicu konflik dalam cerita ini.
Biasanya aku malas membaca buku-buku bertema politik, tapi membaca buku ini rasanya berbeda. Segala sesuatu istilah dan maksud terkait politik dituturkan dengan penyampaian yang menarik dan enak dibaca. Membuat kita ingin lebih tahu lagi.
Seperti yang aku katakan di awal tadi, ini adalah action politik. Jadi dalam buku ini akan ditemukan adegan pertarungan baik itu pertarungan bela diri mau pun pertarungan dengan senjata api. Ada juga kejar-kejaran, balap-balapan. Yang pasti banyak juga saat-saat menegangkan.
Walaupun bercerita tentang hal yang serius tapi jangan mengira semuanya akan serius dan tegang. Karena di balik ketegangan terselip juga saat-saat santai dan kadang menggelikan. Ada juga kisah masa lalu Thomas yang ternyata sangat berat dan sangat mengharukan. Serta tak disangka memiliki keterkaitan dengan otak di balik semua kepentingan para mafia hukum. Terselip juga kisah persahabatan dan balas budi, juga nilai-nilai dalam kehidupan.
Menurutku cukup asyik juga membaca buku ini. Sama seperti buku Tere Liye yang sebelumnya aku baca, beliau sangat jago menuangkan segala sesuatunya dalam tulisan. Membuat kita membaca tapi juga seolah melihat langsung kejadian demi kejadian.
Awalnya aku mengira tidak banyak menemukan kutipan yang menarik. Tetapi ternyata aku salah. Lumayan banyak malah. Ini dia beberapa kutipan yang menurutku sayang kalau tidak dicatat.
- Sikap dan kehormatanlah yang membedakan seorang petarung sejati dengan petarung lainnya (hal. 12)
- “Apakah politik memiliki moralitas? Hei, berapa tahun Nelson Mandela dipenjara oleh rezim kulit putih karena isu moralitas yang dibawanya? Menentang apartheid? Puluhan tahun lamanya. Apa kurangnya isu moralitas yang dibangun Nelson Mandela? Kesamaan derajat. Itu perintah kitab suci, perintah Tuhan, dikirim langsung dari surga. Lantas kenapa Nelson Mandela harus begitu lama di penjara? Apa orang-orang di sekitarnya tidak paham betapa pentingnya isu moralitas yang dibawanya? Apa orang-orang di sekitarnya lupa? Bodoh? Tidak beragama? Kenyataannya, orang-orang di sekitarnya, bahkan yang paling keras menentang Nelson Mandela, berangkat ke rumah ibadahnya lebih sering dibanding siapa pun, membaca kitab sucinya paling banyak. Maka jawaban sesungguhnya: karena orang-orang berhitung dengan kepentingan masing-masing, mengukur kekuatan masing-masing. (hal 28-29)
- “Apakah demokrasi sistem terbaik yang diberikan Tuhan? Difirmankan Tuhan dalam kitab suci? Jelas tidak. Demokrasi adalah hasil ciptaan manusia. Dalam catatan sejarah, sistem otoriter absolut juga bisa memberikan kesejahteraan lebih baik. Tuhan hanya memerintahkan kita memberikan sebuah urusan kepada ahlinya. Silahkan cek banyak kitab suci. Hanya itu. Tidak ada model pemerintahan apalagi demorasi dalam ajaran kitab suci … (hal. 55)
- Opa selalu percaya dengan jalan hidupnya, membiarkan saja mengalir mengikuti alur sungai. (hal. 99)
- “… Aku tidak akan mempertaruhkan nyawa rekan kerjaku, konsultan politikku, orang yang paling kupercaya hanya demi memenangkan konvensi partai, bahkan demi kursi presiden sekalipun. Omong kosong semua janji-janji kehidupan yang lebih baik yang kita dengungkan dalam banyak kampanye jika aku harus membahayakan orang di sekitarku.” (hal. 109)
- … Banyak orang jahat yang menerima balasan langsung di dunia ini, tapi lebih banyak lagi yang tidak, bahkan berpesta di atas penderitaan orang lain. Sebaliknya, banyak orang baik yang justru tersingkirkan dari dunia ini. ( hal. 111)
- “Kita tidak hanya bicara soal hukum dalam artian sempit, seperti menangkap orang-orang jahat. Melainkan hukum secara luas, yang mengunci sistem agar berjalan lebih baik, membuat semua orang merasa nyaman dan aman. Jika hukum benar-benar ditegakkan di muka bumi negeri ini, banyak masalah bisa selesai dengan sendirinya. (hal. 113)
- “… Pengalaman selalu lebih penting dibanding level pendidikan dan nilai akademi.” (hal. 122)
- Dalam strategi komunikasi, kita tidak bisa memaksakan ide kepada orang lain—karena malah jadi kontraproduktif, orang lain menolak mentah-mentah, melawan ide kita meskipun awalnya dia bersikap netral. (hal. 143)
- Kita selalu bisa menanamkan bibit-bibit ide tersebut, lantas membiarkannya tumbuh berkembang dengan sendirinya, membuat tempat bersemainya ide itu justru merasa memilikinya, kemudian dengan sukarela menyebarkannya kepada orang lain.( hal. 143)
- “Habis darah di badan, kering air mata, kita tidak bisa mengembalikan apa yang telah terjadi. Cukup, Nak.”(hal. 151)
- “… Di dunia ini tidak ada yang lebih banyak membuka kunci pintu dibanding berkenalan dengan banyak orang, silahturahim.”(hal. 157)
- “… penjelasan akan tiba pada waktu yang pas, tempat yang cocok, dan dari orang yang tepat…” ( hal. 159)
- “… Penjelasan adalah penjelasan, terkadang tidak perlu diburu-buru, agar kita bisa lebih baik memahaminya…”( hal.159)
- Karakter dan prinsip yang cemerlang selalu datang dari tempat yang cemerlang—sesederhana apa pun tempatnya, datang dari proses pendidikan yang baik, dari guru-guru yang tulus dan berdedikasi tinggi.(hal.166)
- “Kau tahu, Thom, selalu ada pola di dunia ini. Apa pun itu, bahkan saat sesuatu itu tidak berpola, polanya adalah tidak beraturan. Tetapi sekacau apa pun polanya, kita tetap bisa menemukan hal menarik di dalamnya, menyimpulkan sesuatu.”( hal. 174)
- “Kau tahu, Thomas, jarak antara akhir yang baik dan akhir yang buruk dari semua cerita hari ini hanya dipisahkan oleh sesuatu yang kecil saja, yaitu kepedulian …” (hal. 358)
- “Begitu juga hidup ini, Thomas. Kepedulian kita hari ini akan memberikan perbedaan berarti pada masa depan. Kecil saja, sepertinya sepele, tapi bisa besar dampaknya pada masa mendatang. Apalagi jika kepedulian itu besar, seperti yang dilakukan opamu terhadapku, kebih besar lagi bedanya pada masa mendatang …” (hal. 358)
Judul Buku : Negeri Di Ujung Tanduk
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Cetakan Kedua, April 2013
Jumlah Halaman : 360 halaman
Gassmom, 100820
17 replies on “Negeri Di Ujung Tanduk- Tere Liye (Review Buku)”
Negeri Para Bedebah mba, tambahin. Seruu
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya nih, bukunya sudah ada. Tapi belum sempat baca😀🤭🤭🤦
SukaDisukai oleh 1 orang
Seru bgt mba
SukaDisukai oleh 1 orang
Katanya memang seru ya. Ntar deh aku baca😀
SukaSuka
buku have fun saha, prediksi yang menang pilpres juga sudah sangat mudah ditebak.
SukaDisukai oleh 1 orang
😀👍
SukaSuka
yang kebayang saya adalah gaya tulisan dan alur khas Tere Liye.
Saya belum baca buku ini … rekomendasi untuk dibaca nanti
SukaDisukai oleh 1 orang
Gaya bercerita yang menghipnotis kalau menurutku he he he
Ayo dibaca Pak😁
SukaSuka
Seru pembahasannya dalam buku tersebut, bisa menjadi konspirasi kalau diperdebatkan tapi lebih baik diapresiasikan.
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul sekali.
SukaDisukai oleh 1 orang
Salah satu buku favoritku nih, Mom. 🥺 Soalnya penuh intrik, hahaha. Ulasannya bagus, Mom. Jadi agak nostalgia pas aku baca ini dulu. Semoga bisa jadi pecutan untukku semangat membaca lagi, deh. Udah lama nggak baca novel. :”)
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya memang seru bukunya.
Pasti Rifi sudah lama membacanya ya,,, sementara aku membaca setelah sekian tahun beredar he he he
Ayo, membaca lagi😀
SukaSuka
Saya juga kurang suka buku yg bertemakan politik, tapi buku ini jelas berbeda. Seru, tegang dan mengharukan.
Mesti baca Negeri para Bebedah Mbak, lanjutkan 😄
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya, seru😀
Iya mbak. Negeri para bedebah pasti akan kubaca. Kebetulan minggu lalu baru dapat bukunya.
Ternyata aku salah ya, harusnya baca itu dulu😀😀😀, tapi kemarin buki itu belum ketemu 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Hihi iya harusnya negeri para bedebah dulu, baru negeri di ujung tanduk. Gpp mbak, bukan buku cerbung kok. Aman mau baca mana yg duluan 😁
Setelah dua buku itu kata penulisnya mungkin buku berikutnya berjudul Bedebah di Ujung Tanduk.
Selamat membaca Negeri Para Bedebah mbak Sondang 😊😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih mbak Ai😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Sama – sama, mbak Sondang 😊
SukaDisukai oleh 1 orang