Hujan deras malam Minggu kemarin ternyata menyisakan banyak cerita duka. Contoh kecil di halaman rumahku, beberapa hari ini tidak terdengar lagi suara merdu burung punai atau apalah dari pokok mangga karena beberapa cabang besar patah, rubuh ke bumi dan meluluhlantakkan sarang-sarang burung di atasnya.
Itu belum seberapa. Di kota kecil ini banyak titik banjir, poros jalan yang longsor, rumah yang amblas kena longsor dan tersapu banjir bandang, bahkan korban nyawa. Korban nyawa di lokasi yang sama dengan beberapa tahun lalu. Pengendara motor yang nekad melalui jalanan yang banjir. Untungnya tahun ini mayatnya sudah ketemu keesokan harinya. Tidak seperti kisah sebelumnya yang membutuhkan waktu berhari-hari bahkan harus menghadirkan orang-orang pintar dari berbagai penjuru.
Kalau melihat berita yang beredar, sepertinya yang paling banyak tertimpa musibah adalah daerah kami. Mungkin karena merupakan dataran lebih rendah. Sepanjang jalan Medan saja terdapat beberapa titik yang terendam bahkan melebihi dada orang dewasa sewaktu hujan masih berlangsung. Membuat arus kendaraan macet bahkan terhenti. Dari kompleks perumahan kami sendiri, ada 2 titik yang terendam banjir bahkan sampai keesokan harinya masih setengah lutut orang dewasa.
Di kelurahan kami sepertinya hanya banjir. Namun kelurahan tetangga yang masih satu kecamatan ternyata lebih parah, banjir bandang sampai menghancurkan beberapa rumah, longsor dan korban nyawa tadi.
Entahlah, sepertinya akhir-akhir ini cuaca begitu ekstrim bahkan seolah tidak lagi bersahabat. Hadir bukan pada musimnya dan sering menimbulkan kerusakan. Bahkan pada hari yang sama, kabupaten sebelah mengalami hujan es. Dan hari sebelumnya beberapa daerah mengalami angin puting yang menghancurkan rumah-rumah penduduk.
Seleksi alam sepertinya sedang gencar-gencarnya. Sebagai manusia hanya bisa berserah dan berusaha.
Terlepas dari alam yang seolah tak bersahabat, sesungguhnya manusia pun turut andil dalam terjadinya masalah tersebut. Tak bisa dipungkiri, penyebab banjir di berbagai titik termasuk ruas jalan adalah ulah manusia. Ulah masyarakat yang masih belum bijak dalam pengelolaan sampah. Masih sering ditemukan warga yang membuang sampah sembarang bahkan yang sengaja membuang sampah ke saluran air. Aku sendiri beberapa kali menyaksikan hal tersebut dengan mata sendiri. Apalagi saat hujan sedang deras, banyak yang kesempatan membuang sampah ke aliran selokan. Bahkan orang yang di dekatku pernah melakukan hal yang sama sampai kami berdebat karena aku menentang hal yang dia lakukan. Alasannya, banyak koq orang yang melakukan hal tersebut dan bukankah sampah tersebut akan dihanyutkan aliran air. Namun, satu hal yang mereka lupakan, sampai ke mana dihanyutkan? Setelah hanyut, apa yang akan terjadi? Sepertinya hal tersebut memang dilupakan. Dan ketika terjadi banjir, yang disalahkan adalah pemerintah.
Konon, pemerintah yang tidak becus mengatur tata kota, tidak peduli lingkungan. Kritik sana sini, padahal lupa kalau pencetus semua itu berasal dari diri sendiri. Dan seandainya kesadaran memelihara lingkungan, mengelola sampah dan saluran air dikerjakan masing-masing individu maka keseimbangan akan terjadi, bukan bencana seperti saat ini.
Terkait hal tersebut, aku menemukan sebuah ilustrasi gambar. Tidak tahu pasti dari mana asal ilustrasi ini, namun gambar ini aku simpan dari halaman Facebook seorang camat di kota ini.

Sebenarnya ini postingan lama beliau, namun entah bagaimana aku teringat dengan gambar ini. Bersama ilustrasi tersebut, beliau menulis caption: “Siapakah anda yang berkomentar tentang kepedulian kami??? Apakah saudara bagian dari keluarga seperti di gambar? Mari bergandengan tangan satukan langkah mewujudkan impian kita. Siantar mantap maju dan jaya. Horas diatei tupa.“
Gassmom, 140720
18 replies on “Bencana Ini Ulah Kita”
Nyambung lagi soal bencana. Alam juga punya kekuatan. Udah ditempati, ibarat kita udah digendong, kita candain aja, kita gelitik yaa berontak. Kita aja yang kurang paham dia berontak hingga kita jatuh dari gendongan karena apa? Marah kah, tak sengaja kah. Harusnya kita bisa menyikapi agar kita digendong lagi. Kalau bukan dia siapa lagi? Kita di planet bumi ini. Apa bisa pindah planet? 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul sekali, kalau bukan dia siapa lagi. Dan kita juga harus memulai menyikapi dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil. Demi kita dan anak cucu kita kelak.
SukaDisukai oleh 1 orang
[…] Gassmom// Bencana Ini Ulah Kita// “Aku turut berduka mendengar kabar bencana ini, terlebih di tengah pandemi. Semoga keadaan […]
SukaDisukai oleh 2 orang
Aku turut berduka mendengar kabar bencana ini, terlebih di tengah pandemi. Semoga keadaan cepat membaik, teman-teman yang terkena musibah pun diberi kesehatan, kemudahan, dan kesabaran selalu. Amin. Nice post!
SukaDisukai oleh 2 orang
Amin.
Thanks sdh mampir ya
SukaDisukai oleh 1 orang
Sama-sama Bu.
SukaSuka
Memang. Kita yang tak peduli. Saya pernah sangat trauma tahun 2001 karena liat ular besar dan nyenggol kaki saya saat saya jalan depan rumah yang banjirnya deras sedalam 1 meter. Posisi rumah saya itu persis dibelakangnya sungai berbelok, air menghantam tanggul dan jebol. Belum barang dan berkas pada rusak. Selain itu, gatal menyerang.
Direnungi lagi, ulah kita memang. Sungainya penuh sampah. Bantarannya tandus pohon tapi subur beton. Ah, semoga saat ini saudara yang tinggal di Taman Riviera Tanjung Morawa/Polda udah aman.
SukaDisukai oleh 2 orang
Yupz, ulah kita.
Pernah tinggal di Tanjung morawa ya Pak?
SukaDisukai oleh 1 orang
Pernah. Di Taman Riviera samping Polda.
SukaDisukai oleh 2 orang
Dari mulai judulnya, saya sudah setuju banget. Terkadang ketika ada bencana, kita kerap terlalu cepat menyalahkan Tuhan dengan menganggapnya sebagai cobaan. Padahal bisa jadi hasil kesalahan sendiri dan itu dilakukan secara kolektif (bersama-sama).
Belum lagi jika ada yang berpikiran kompromis seperti “ah, baru sekali ini kok buang sampah begini (aka sembarangan)” Bayangkan saja kalau dalam sehari ada jutaan orang yang berpikiran begitu. Ditambah lagi “yang lain juga begini kok, bukan cuma saya.”
Duh.
Salut sama mbaknya yang mengingatkan tetangga agar lebih bijak lagi meskipun harus debat dulu. Setidaknya mbak sudah berbuat dan tidak hanya memaklumi. Semangat terus.
SukaDisukai oleh 3 orang
Semangat untuk kita semua, paling tidak memulai dari diri sendiri….
SukaDisukai oleh 1 orang
Mudah memang menyalahkan daripada memperbaiki diri
SukaDisukai oleh 3 orang
Betul sekali.
SukaSuka
Salah satu cerita duka, kemarin baru terjadi di Luwu Utara, ada 13 orang yang meninggal, 46 orang yang hilang akibat banjir bandang..
Sedih…semoga teman2 disana kuat dan tabah melalui musibah ini..
SukaDisukai oleh 3 orang
Sedih memang, kalau melihat bencana demi bencana yang silih berganti.
Semoga mereka kuat dan tabah.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hi, Mom.
Membaca postingan ini, setelah beberapa hari ini juga harus berhadapan dengan musibah kebanjiran. Rasanya tahun ini berat sekali!
Sejak awal tahun, bencana dan tantangan datang tanpa henti, rasanya sudah tidak sanggup lagi menghadapi sisa tahun ini. Sulit rasanya menemukan kelegaan dalam musibah yang datang silih berganti.
Mencari kambing hitam pun tidak ingin, karena tahu pada akhirnya manusia adalah penyebab semua masalah ini. Tidak ada makhluk di dunia ini yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi akhir-akhir ini selain manusia.
Nice post as always, Mom Sondang.
SukaDisukai oleh 3 orang
Ternyata di sana juga ternyata di sana juga sama ya. Tahun ini memang sesuatu, ibarat benang kusut yang susah diurai, semua seakan tak jelas. Hanya berharap, semoga kita kuat dan bertahan, tetap dilindungi.
SukaDisukai oleh 2 orang
Amin, Mom. Semoga.
SukaDisukai oleh 2 orang